UPAYA MODERASI BERAGAMA DI KELURAHAN PURWOKERTO LOR KECAMATAN PURWOKERTO TIMUR KABUPATEN BANYUMAS MENURUT MASHLAHAH AL-MURSALAH

Mashlahah al-mursalah dalam syariah Islam menempati tempat yang sangat
strategis karena syari’ah diturunkan Allah kepada manusia untuk kebaikan dan
kemaslahatan hidup. Moderasi beragama maka hal ini merujuk pada kata wasatiyah
yang berarti tengah. Artinya bahwa suatu tindakan atau hubungan yang menengahi
dalam upaya penyelesaian masalah antara kedua belah pihak. Di dalam konteks
Adanya konflik di masyarakat terkait perluasan lahan pakir. Berdasarkan survei
pendahuluan yang dilakukan peneliti bahwa salah satunya adanya kasus dalam
perluasan lahan parkir SD Kristen 2 yang terjadi pada tahun 2020 di Kebondalem
RT 04 RW 06 Kelurahan Purwokerto Lor Kecamatan Purwokerto Timur, bahwa
konflik terjadi berawal sengketa tanah di mana akan didirikan perluasan lahan
parkir yang bersebelahan dengan mushola serta pondok pesantren. Dari kasus
tersebut melebar ke ranah agama dan indikasikan ada kekhawatiran serta isu
kristenisasi bagi masyarakat setempat. Warga menolak pembangunan tersebut dan
melakukan penutupan akses jalan.
Penelitian ini menggunakan penelitian lapangan (field research) dengan
metode penelitian kualitatif deskriptif dan menggunakan pendekatan normatif
sosiologis. Tujuan penelitian ini yakni bagaimana upaya moderasi beragama dalam
penyelesaian sengketa perluasan lahan parkir di Kelurahan Purwokerto Lor
Kecamatan Purwokerto Timur Kabupaten Banyumas dan moderasi beragama
dalam perspektif Mashlahah al-Mursalah.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa
penyelesaian sengketa perluasan lahan parkir SD 1 Kristen di Purwokerto Lor,
Kecamatan Purwokerto Timur, Kabupaten Banyumas sudah sesuai dengan kaidah
Mashlahah al-Mursalah. Adapun upaya dalam penyelesaian sengketa tersebut
dapat dilakukan dengan cara negosiasi, mediasi dan musyawarah (syura) yang
dihadiri dengan para pihak yang bersengketa. Mashlahah al-mursalah sebagai dalil
harus menempatkan beberapa syarat, yakni (1) sesuatu yang dianggap maslahat itu
haruslah berupa maslahat hakiki, (2) sesuatu yang dianggap maslahat itu hendaknya
berupa kepentingan umum bukan kepentingan pribadi, dan (3) sesuatu yang
dianggap maslahat itu tidak bertentangan dengan ketentuan yang ditegaskan dalam
al-Qur’an atau Hadits atau bertentangan dengan ijma’.